Kebenaran
Pemahaman dan Itikad Yang Baik merupakan tonggak penting
dalam mengaplikasikan ajaran Islam secara benar. Dua perkara ini harus
seiring-sejalan. Ketika salah satunya tidak terpenuhi, maka tabiat orang-orang
Yahudi yang tidak mempunya itikad baik di hadapan hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala
dan penganut Nashara yang berjalan tanpa petunjuk ilmu akan berkembang di
tengah umat. Akibatnya timbullah kerusakan…
Contoh perihal bahaya dari
pemahaman yang benar, tapi tidak punya Itikad yang baik adalah Barbaria,
Barbaria adalah sosok Ulama bani Israil yang paham agama tapi tidak mempunyai Itikad
yang baik, dia mengkomersilkan agama dan fatwanya, sebagaimana disebutkan Rasulullah
dalam sunnah Imam Ahmad.
Contoh perihal bahaya dari
pemahaman yang tidak lurus ini, dapat dilihat pada diri Abdur-Rahman bin
Muljam. Sosok ini telah teracuni pemikiran Khawarij. Yaitu satu golongan yang
kali pertama keluar dari jamaatul-muslimîn. Sejarah mencatat kejahatan kaum
Khawaarij ini telah melakukan pembunuhan terhadap Amirul-Muminin Ali bin Abi Thalib,
yang juga kemenakan Rasulullah Saw.
SIAPAKAH ABDUR-RAHMAN BIN
MULJAM?
Merupakan kekeliruan jika
ada yang menganggap Abdur-Rahman bin Muljam dahulu seorang yang jahat.
Sebelumnya, Abdur-Rahman bin Muljam ini dikenal sebagai ahli ibadah, gemar
berpuasa saat siang hari dan menjalankan shalat malam. Namun, pemahamannya
tentang agama kurang menguasai.
Meski demikian, ia mendapat
gelar al-Muqri`. Dia mengajarkan Al-Quran kepada orang lain. Tentang
kemampuannya ini, Khalifah Umar bin al Khaththab sendiri mengakuinya. Dia pun
pernah dikirim Khaliifah Umar ke Mesir untuk memberi pengajaran Al-Quran di
sana, untuk memenuhi permintaan Gubernur Mesir, Amr bin al-Aash, karena mereka
sedang membutuhkan seorang qari.
Dalam surat balasannya, Umar
menulis: “Aku telah mengirim kepadamu seorang yang shalih, Abdur-Rahman bin
Muljam. Aku merelakan ia bagimu. Jika telah sampai, muliakanlah ia, dan buatkan
sebuah rumah untuknya sebagai tempat mengajarkan Al-Quran kepada masyarakat”.
Sekian lama ia menjalankan
tugasnya sebagai muqri`, sampai akhirnya benih-benih pemikiran Khawarij mulai
berkembang di Mesir, dan berhasil menyentuh athifah (perasaan)nya, hingga
kemudian memperdayainya.[1]
MERENCANAKAN PEMBUNUHAN
TERHADAP ALI BIN ABI THÂLIB [2]
Inilah salah satu keanehan Abdur-Rahman
yang sudah terjangkiti pemikiran Khawarij. Tiga orang penganut paham Khawarij –
Abdur-Rahman bin Muljam al-Himyari, al-Burak bin Abdillah at-Tamimi dan Amr bin
Bakr at-Tamimi – mereka berkumpul bersama, sambil mengingat-ingat tentang Ali
Radhiyallahu ‘anhu yang telah menghabisi kawan-kawan mereka di perang Nahrawan.
Mereka pun berdoa memohon rahmat kebaikan bagi orang-orang yang telah menemui
ajalnya itu.
Peristiwa peperangan Nahrawan
sangat membekaskan luka mendalam pada hati mereka. Salah seorang dari mereka
berkata: “Apa lagi yang akan kita perbuat setelah kepergian mereka? Mereka
tidak takut terhadap apapun di jalan Allah Swt. Sebaiknya kita mengorbankan
jiwa dan mendatangi orang-orang yang sesat itu [3]. Kita bunuh mereka, sehingga
negeri ini terbebas dari mereka, dan kita pun telah melunasi balas dendam?”
Akhirnya, mereka
merencanakan balas dendam dengan merancang pembunuhan terhadap tiga orang yang
mereka anggap bertanggung jawab atas peristiwa tersebut. Pembunuhan ini mereka
anggap sebagai tangga untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Mereka sepakat melakukan pembunuhan terhadap tiga orang itu, yaitu Ali bin Abi
Thalib, Mu’awiyyah dan Amr bin al Ash Radhiyallahu ‘anhum, dan mereka berani
mempertaruhkan nyawa untuk mewujudkan rencana keji itu.
Rencana Abdur-RahmAn bin
Muljam untuk membunuh Ali Radhiyallahu ‘anhu kian menguat setelah didorong oleh
seorang perempuan.
Dikisahkan, adalah Fitham
nama wanita itu. Kecantikannya yang masyhur di tengah kaum muslimin telah
berhasil merebut hati Abdur-Rahman bin Muljam. Hingga ia melupakan misi
jahatnya di Kufah, yaitu membunuh Amirul-Mu`minin Ali bin Abi Thalib
Radhiyallahu ‘anhu. Namun tak terduga, hasratnya memperistri wanita yang
terkenal cantik itu, justru memicu niatnya yang sempat terlupakan.
Pasalnya, selain permintaan
mas kawin yang berupa kekayaan duniawi, wanita ini juga memasukkan pembunuhan
terhadap Ali Radhiyallahu ‘anhu sebagai syarat, jika Ibnu Muljam ingin memperistrinya.
Syarat pinangan yang aneh ini yang kemudian mengingatkan Ibnu Muljam dengan
niat jahat itu, dan ia bertambah semangatnya untuk segera mewujudkan niat
buruknya. Katanya, ”Ya, ia adalah bagianku. Demi Allah, tidaklah aku datang ke
tempat ini kecuali dengan niat untuk membunuh ‘Ali”. Syarat ini terpenuhi dan
pernikahan pun dilaksanakan. Semenjak itu, sang wanita ini selalu membakar
semangat suaminya untuk merealisasikan niatnya. Bahkan ia memberi bantuan
kepada Ibnu Muljam seorang lelaki yang bernama Wardan untuk mewujudkan rencana
jahat itu.
Setelah itu, Ibnu Muljam pun
mengajak seseorang yang Syabiib bin Najdah al Asyja’i. Katanya,”Maukah engkau
memperoleh kemuliaan dunia dan akhirat?”
Tetapi, begitu mendengar
yang dimaksud ialah membunuh Ali Radhiyallahu ‘anhu, maka Syabib menampiknya.
Karena ia mengetahui, Ali Radhiyallahu ‘anhu memiliki jasa yang sangat besar
bagi Islam dan kaum muslimin, dan ia memiliki kedekatan dalam hal kekerabatan
dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Melihat penolakan ini, Ibnu
Muljam tak kalah cerdik. Dengan agresifitasnya, ia membakar emosi Syabib dengan
menyebut kematian orang-orang Khawarij di tangan Ali. Yang akhirnya, ia
berhasil menjinakkan hati Syabib. Padahal Khalifah Ali bin Thalib - pada masa
itu - ialah orang yang paling tekun beribadah kepada Allah Azza wa Jalla,
paling zuhud terhadap dunia, paling berilmu dan paling bertakwa kepada Allah
Azza wa Jalla.
Mereka bertiga kemudian
bergerak melancarkan niatnya pada malam 17 Ramadhan 41 H. Hari yang sudah
diputuskan oleh Ibnu Muljam, al-Burk dan Amr bin Bakr untuk menyudahi nyawa
tiga orang sahabat Rasulullah, yaitu Ali, Mu’awiyyah, dan Amr bin al-Ash
Radhiyallahu ‘anhum.
Begitu waktu subuh tiba,
sebagaimana biasa Amirul-Mu`minin Ali bin Thalib keluar dari rumahnya untuk
melakukan shalat Subuh dan membangunkan manusia. Saat itulah pedang Khawarij
yang beracun menciderai Ali Radhiyallahu ‘anhu. Ketika Ibnu Muljam menyabetkan
pedangnya pada bagian pelipis Ali Radhiyallahu ‘anhu, ia berseru: “Tidak ada
hukum kecuali hukum Allah, bukan milikmu atau orang-orangmu (wahai Ali),”
lantas ia membaca ayat :
“Dan di antara manusia ada
orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha
Penyantun kepada hamba-hamba-Nya”. [al Baqarah/2:207].[4]
Mendapat serangan ini,
Amirul-Mu`minin berteriak meminta tolong. Dan akhirnya Ibnu Muljam berhasil
ditangkap hidup-hidup. Adapun Wardan, ia langsung terbunuh. Sedangkan Syabîb
berhasil meloloskan diri.
AKHIR KEHIDUPAN ABDUR-RAHMAAN
BIN MULJAM
Ketika Amirul-Mu`minin Ali
bin Thalib Radhiyallahu ‘anhu dipastikan meninggal karena serangan Ibnu Muljam,
maka diputuskanlah hukuman mati bagi Ibnu Muljam. Hukuman ini diawali dengan
memotong kedua kaki dan tangannya dan menusuk dua matanya, kemudian dilanjutkan
dengan membakar jasadnya.
Imam adz-Dzahabi
rahimahullah berkata tentang Ibnu Muljam: “Sebelumnya, ia adalah seorang ahli
ibadah, taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Akan tetapi, akhir kehidupannya
ditutup dengan kejelekan (su`ul khatimah). Dia membunuh Amirul-Mu’minin Ali
Radhiyallahu ‘anhu dengan alasan mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala melalui tetesan darahnya. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi
ampunan dan keselamatan bagi kita”.[5]
Berbeda dengan anggapan
kalangan Khawarij. Di tengah mereka, Abdur-Rahman bin Muljam ini dielu-elukan
bak pahlawan. Dia mendapatkan pujian dan sanjungan. Di antaranya keluar dari Imran
bin Haththan. Orang ini, sebelumnya dikenal sebagai ahli ilmu dan ahli ibadah.
Namun, perkawinannya dengan seorang wanita yang memiliki pemikiran Khawarij,
menjadikannya berubah secara drastis. Dia mengikuti pemahaman istrinya. Dia
merangkai bait-bait syair sebagai pujian yang ditujukan kepada Abdur-Rahman bin
Muljam:
Oh, sebuah sabetan dari
orang bertakwa, tiada yang ia inginkan…
selain untuk menggapai
keridhaan di sisi Dzat Pemilik ‘Arsyi…
Suatu waktu akan kusebut
namanya, dan aku meyakininya…
(sebagai) insan yang penuh
timbangan (kebaikannya) di sisi Allah…[6]
Pujian ini tentu merupakan
perbuatan ghuluw (berlebih-lebihan), sehingga dapat menyeret seseorang menjadi
keliru dalam memandang kebatilan hingga terlihat sebagai kebenaran di matanya.
Na’udzu billahi min dzalik. Golongan lain yang juga memberi sanjungan kepada pembunuh
Ali Radhiyallahu ‘anhu, yaitu golongan Nushairiyyah. Konon katanya, karena Ibnu
Muljam telah melepaskan “ruh ilâhi” dari tanah.[7]
BEBERAPA PELAJARAN DARI
KISAH DI ATAS
1. Pemahaman yang benar
dalam mengaplikasikan Islam merupakan keharusan bagi seorang muslim. Dalam hal
ini, para sahabat merupakan generasi Islam pertama, yang pastinya paling
memahami Islam. Mereka mereguknya langsung dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam.
Ketika muncul pergolakan
yang disulut kaum Khawarij, tidak ada satu pun dari sahabat yang merapat ke
barisan mereka. Pemahaman-pemahaman terhadap Islam yang tidak mengacu kepada
para sahabat - sebagai generasi pertama umat Islam - hanya akan berakhir dengan
kekelaman. Motif mereka sesat, karena beranggapan pembunuhan ini sebagai ibadah
untuk mendekatkan diri kepada Allah. Alasan demikian tentu menjatuhkan citra
Islam, dan menjadi ternoda karenanya. Hal ini bisa menimpa siapa pun yang
berbuat tanpa dasar ilmu, tanpa pemahaman yang lurus, dan hanya mengandalkan
perasaan atau hawa nafsu semata.
2. Kebodohan itu berbahaya,
lantaran menyebabkan ketidakjelasan barometer syar’i bagi seseorang, sehingga
membuat kelemahan dalam tashawwur (pendeskripsian) dalam memandang suatu
masalah.[8]
3. Bahaya teman dekat (istri,
suami) yang berpemikiran buruk atau menyimpang. Wallahu a’lam
[Intisari Ceramah Tarawih 7 Ramadhan 1439H, Ustadz Mujahid Nur Islami LC. di Mesjid Darussalam, Griya Tugu Asri, Depok]
Footnote:
[1]. Nukilan dari Al
Ghuluww, Mazhâhiruhu, Asbâbuhu, ‘Ilâjuhu, Muhammad bin Nâshir al ‘Uraini,
Pengantar: Syaikh Shâlih al Fauzân, Tanpa Penerbit, Cetakan I, Tahun 1426 H.
[2]. Lihat al-Bidayah
wan-Nihâyah, Imam Ibnu Katsîr rahimahullah, Maktabah ash-Shafâ, Cetakan I,
Tahun 1423H-2003 M (7/266-268)
[3]. Maksudnya ialah ‘Ali
bin Abi Thâlib, Mu’awiyyah dan ‘Amr bin al-‘Âsh Radhiyallahu ‘anhum.
[4]. Ibnu Muljam mengira
dirinya masuk dalam konteks ayat yang ia baca itu, Pen.).
[5]. Mizânul-I’tidâl, Abu
‘Abdillah Muhammad adz-Dzahabi, Darul-Ma’rifah, Beirut, tanpa tahun, 2/592.
[6]. Al-Farqu bainal-Firaq,
‘Abdul-Qâhir al-Baghdâdi, Darul-Kutub al-‘Ilmiyyah, tanpa tahun, hlm. 62-63.
[7].
Al-Mausû’atul-Muyassaratu fil Ad-yâni wal-Mazhâhibi wal-Ahzâbil-Mu’âshirah,
Cetakan V, Tahun 1424 H / 2003 M, 1/392.
[8]. Asbâbu Ziyâdatil-‘Imân
wa Nuqshânihi, Prof Dr. ‘Abdur-Razzâq al-‘Abbâd, Ghirâs, Cetakan III, Tahun
2003M, hlm. 62.