ALKISAH,
di daerah Damsyik Syria ada seorang Tukang Sol bernama Sayid bin Muhafah,
pekerjaan sehari-harinya memperbaiki sandal dan sepatu. Sayid orang yang soleh
dan taat beribadah. Walaupun penghasilan hidupnya apa adanya dari memperbaiki
sepatu, namun Sayid sangat berharap ingin menunaikan ibadah haji ke Mekkah.
Sayid selalu berdoa dan berprasangka baik, ”Ya Allah, semoga Engkau
kabulkan niatku menjadi kenyataan dan mampukan aku untuk berhaji…”.
Singkat
cerita Sayid dibantu isteri tercintanya, mereka tak pernah berputus asa dan
selalu bersyukur hingga beberapa tahun kemudian Sayid memiliki 350 dirham
tabungan hajinya dan di bayangannya kebahagiaan menyelimuti akan nanti
datangnya kegembiraan dalam ibadah berhaji, “Aku tinggal bersabar
menunggu musim haji.. Allahu Akbar, aku akan mengunjungi Kabah, jiarah ke makam
Rasulullah” – Kata-kata tanpa suara terucap bersama dengan senyuman
gembira menghiasi perjalanan pulang Sayid ke rumahnya.
Sesampai
di rumah, istri Sayid bin Muhafah yang dalam keadaan hamil mencium bau masakan
dari tetangganya di sebelah rumah mereka dan istrinya sangat menginginkan
masakan itu. Tetapi Sayid tahu bahwa tetangganya adalah seorang janda miskin
yang memiliki beberapa anak yatim, walau diselimuti keraguan Sayid pun
memberanikan diri memintanya. Dijumpainya perempuan janda itu seraya
berkata, “Maaf ibu, Istri saya mencium bau masakan anda dan sudikah
kiranya memberikan sedikit saja agar istriku mencicipinya?”
Sejenak
si janda terperangah dan menjawab sedih, “Sejak beberapa hari yang
lalu, persediaan makanan kami habis. Dari kemarin saya sudah berusaha mencari
nafkah, tapi tak memperoleh apapun. Padahal anak-anak saya butuh makan.” Sejenak
perempuan itu menghela nafasnya yang berat. “Tadi saya menemukan
bangkai keledai di jalan. Karena sudah lelah, saya nekat memotongnya lalu saya
masak untuk dimakan”. ““Saya tak tega memberikan makanan ini pada kalian
berdua tetanggaku yang baik, , “Bangkai makanan itu haram bagi anda. Tapi
halal bagi kami karna kelaparan…,” tuturnya dengan mata yang berlinang.
Sayid
terperanjat, Ia sangat iba. Lalu bergegas pulang, diambilnya simpanan uangnya
yang tiga ratus lima puluh dirham itu. Tanpa pikir panjang lagi, ia berikan
uang yang diperolehnya dari hasil kerja keras selama ini. Padahal, uang itu
sudah diniatkan untuk biaya berhajinya.
Dengan
keikhlasannya Sayid berkata, “Terimalah uang ini untuk makan kalian,”.
Betapa terharunya janda miskin itu, mereka tidak akan kelaparan lagi untuk
waktu yang cukup lama.
“Terimakasih,
tuan sudah bermurah hati menolong kami dari kelaparan,” ucap
perempuan itu tertunduk. “Saya tidak tahu bagaimana membalas kebaikan
tuan. Semoga Allah akan membalasnya dengan rahmat yang berlimpah.“.
Mendengar doa perempuan itu, Sayid menitikkan air mata.
'Labbaika allahumma labbaik, Laa syariika
laka labbaik. Innalhamda wan-ni'mata laka wal mulk, laa syariikalak."
Saat musim haji pun tiba, Sayid bin Muhafah tetap tersenyum walau batal menunaikan ibadah haji. Tapi hati laki-laki sholeh itu bahagia, bisa menolong kesengsaraan seorang janda miskin dan anak-anaknya.
Pada
musim haji waktu itu, salah seorang ulama besar, Abdullah bin Mubarak,
menunaikan ibadah haji. Suatu sore, seusai thawaf berkali-kali ia merasa sangat
letih. Lalu, ia pun beistirahat di Hijr Ismail. Antara tidur dan tidak,
tiba-tiba ia mendengar percakapan dua malaikat.
“Berapa
orang yang menunaikan ibadah haji tahun ini?”
“Tujuh
ratus ribu orang.”
“Kira-kira
berapa orang yang hajinya diterima Allah?”
“Tak
seorangpun!”
“Tapi
seorang tukang tambal sepatu dari Damsyik yang bernama Sayid bin
Muhafah diterima hajinya oleh Allah, kendati Ia tidak menunaikan ibadah
haji. Dan berkat hajinya orang inilah, maka semua jamaah haji sekarang diterima
juga oleh Allah.”
Begitu
malaikat itu menghilang, Abdullah bin Mubarak tersadar dari setengah
tidurnya. “Masya Allah! Amal perbuatan apa yang telah dilakukan Sayid?
Begitu besar pengaruhnya disisi Allah…,” bisik Abdullah terpesona.
Selesai
ibadah haji, ulama besar itu bergegas ke Damsyik. Ia ingin sekali menemui Sayid
bin Muhafah. Dan begitu bertemu, ulama itu langsung menceritakan kejadiannya
waktu di Hijr Ismail. Sayid sendiri baru menyadari, lalu bersyukur atas karunia
itu kehadirat Allah. Sayid lalu mengisahkan perjuangannya untuk mencapai
cita-citanya yang ingin beribadah haji, tapi akhirnya tidak jadi berangkat.
“Ku
berikan semua uangku agar mereka bisa makan dan berusaha untuk hidup… Aku tidak
menyesal tidak jadi berhaji karena aku mengharap keridhaan Allah, Di sinilah
Hajiku ya Allah… Di sinilah Mekkahku” kata Sayid.
Mendengar
cerita tersebut Abdullah bin Mubarak tak bisa menahan air mata. “Kalau
begitu engkau memang patut mendapatkannya”, “Tuan, andalah seorang haji
yang mabrur atas ridha Allah…,” kata sang ulama kagum.
SAUDARAKU yang dirahmati Allah,
kadang kita tidak yakin, bingung dan lupa bertanya pada diri sendiri
sesungguhnya di manakah tempatnya jika ingin menjumpai Allah, DIA yang
menciptakan kita, Maha Pemberi Rezeki, tempat kita bersandar tatkala hati ini
butuh ketentraman… Tetapi seringnya kita lupa untuk bersyukur karna seolah DIA
tak pernah ada di antara kita?, Kita kebingungan karna kita jauh dari-Nya
hingga hati kita dipenuhi dengan kefakiran dan tangan kita dipenuhi dengan
kesibukan.
Sebagian
menganggap Allah itu hanya dekat dengan Kabah dan Madinah, hingga ummat yang
mampu selalu berulangkali melakukan haji dan umrah yang bernuansa jika ingin
berjumpa dengan Allah itu sangat mahal dan jauh jaraknya.
“Temuilah AKU di tengah orang-orang yang sedang luka hatinya…” (Hadits Qudsi)
Padahal
jika memaknai dan mengamalkan hadits Qudsi di atas jelas sekali Allah Swt sudah
lama menunggu kita di tempat-tempat orang-orang yang sedang sakit, kelaparan
dan kehausan, Allah menunggu kita dengan stok pahala yang tak ternilai harganya.
Sahabatku…
Semoga kita termasuk kaum yang tidak kebingungan, Mari temui Allah di
gubuk-gubuk si miskin, di tempat orang-orang yang sedang luka hatinya, di
tengah orang-orang yang terkena bencana…
Wassalam,
Kang Eded
– Kurir #SedekahRombongan
No comments:
Post a Comment