Setiap agama memiliki tradisi berbagi. Islam mengenal konsep zakat, infak dan sedekah. Nasrani ada konsep persepuluhan. di kalangan Hindu di Bali, bahkan nilainya sampai sepertiga dari pendapatan.
Hari-hari ini, banyak perusahaan maupun pribadi melakukan upaya pembagian dana zakat, infak dan sedekah. Dan secara umum, yang dilakukan nyaris sama. Bedanya hanya dalam cara mengorganisirnya.
Yang masih tradisional, biasanya sudah punya waktu tertentu dalam membagikannya. calon penerima tidak diseleksi. Tidak ada proses verifikasi. Siapa yang datang dan antri, sepanjang jatahnya masih ada, pasti kebagian. Inilah yang sering jadi senjata makan tuan. Jatah yang dibagikan lebih sedikit daripada jumlah calon penerima. Akibatnya, antrian yang semula rapi, jadi berantakan tidak terkendali. Dan terjadilah bencana. Yang fisiknya lemah, bisa terinjak, tergencet sampai luka-luka bahkan meninggal dunia.
Yang sudah well-organized, mengundang anak-anak yatim, para janda dan kaum dhuafa yang sudah terseleksi ke suatu tempat tertentu. Di sana, para mustahik diberi bingkisan berupa makanan, minuman dan atau pakaian. Juga ada amplop berisi sejumlah uang.
Mungkin tidak ada salahnya memberikan sedikit kebahagiaan kepada para mustahik di hari raya. Tapi sadarkah kita, bila apa yang dilakukan itu berpotensi melestarikan kemiskinan?
Hari itu, para dhuafa bergembira. Apalagi kalau dihibur dengan aneka atraksi sulap, gerak dan lagu dari para artis atau pun tausiyah dari para ustadz. Syiarnya semakin jauh jika panitia mengundang wartawan dari media cetak dan atau elektronik. Tapi apa yang akan terjadi di hari-hari berikutnya?
Mereka akan kembali ke kehidupan semula, kehidupan yang penuh dengan kekurangan. Tahun depan, mereka akan datang lagi. Menerima santunan kembali. Gebyar-gebyar kegembiraan tahun lalu, nyaris tidak bersisa selama setahun, sampai berulang kegembiraan di tahun berikutnya.
Inilah yang saya sebut Septic Tank Project. Hari ini kita bantu mereka. Tapi dana bantuan hanya habis untuk konsumsi. Tahun mereka datang kembali untuk menerima bantuan lagi. Bahkan bisa jadi, mereka membawa serta kawan-kawan lainnya. Ujung-ujungnya, jumlah penerima jadi membengkak. Dan pemberian bantuan hanyalah menjadi seremoni pelestarian kemiskinan. Belum lagi munculnya ekses lain seperti penyaluran dana yang tidak semestinya karena dana diterima oleh orang yang tidak berhak, munculnya korban jiwa akibat berdesakan, dan sebagainya.
Sebenarnya, ada dua hal yang biasa dilakukan dalam penyaluran dana ZIS, yaitu berbentuk charity (sumbangan), dan empowerment (pemberdayaan). Charity, mudah pelaksanaan dan pertanggung-jawabannya. Tapi, mudharatnya banyak. Jangan-jangan, kemiskinan enggan pergi dari bumi Indonesia, karena pola charity lebih banyak dilakukan.
Empowerment, lebih sulit pelaksanaan dan pertanggung-jawabannya. Sebagian dana diberikan dalam bentuk pelatihan, sebagian lagi dalam bentuk modal usaha. Kalau dilaksanaan secara taat azas, bisa jadi mustahik yang dibantu tahun ini, tahun depan sudah tidak lagi jadi mustahik. Bahkan bisa jadi muzakki. So, lewat pola yang mana ZIS anda disalurkan?
No comments:
Post a Comment