Sunday, November 21, 2010

"Never Give Up"

Seorang pekerja sedang berusaha memecahkan sebongkah batu cadas yang cukup besar dengan menggunakan palu yang juga berukuran besar. Berulang-ulang ia menghantamkan palu itu ke arah batu. Sayangnya, batu itu tidak kunjung pecah.

Sampai tengah hari, batu cadas itu tidak kunjung pecah. Pekerja itu akhirnya memutuskan untuk meninggalkannya, dan mencoba memecahkan batu lainnya.

Usai makan siang, pekerja itu mulai memukuli batu cadas yang lain. Hingga sore hari, batu cadas itu pun tidak kunjung pecah. Batu itupun ditinggalkan, dan untuk keesokan harinya, ia sudah siapkan batu lain untuk dipecahkan.

Keesokan paginya, ketika pekerja yang sama sedang memukuli batu yang ketiga, seorang anak kecil membawa sebuah palu kecil dan memukulkannya ke batu cadas yang pertama. Dan hanya dengan dua pukulan yang tidak terlalu keras, batu cadas pun pecah.

Apa yang saya gambarkan melalui cerita di atas, adalah metafora orang-orang yang melakukan banyak hal, tetapi tidak dituntaskan. Misalnya mereka memulai usaha, tetapi belum sampai menghasilkan, mereka sudah beralih pada usaha lainnya. Mereka mencoba suatu keterampilan tertentu, tetapi belum sampai khatam, sudah belajar keterampilan lainnya. Ujung-ujungnya, mereka hanya berpindah-pindah aktivitas tanpa hasil yang berarti.

Lebih sial lagi, pekerjaan mereka diselesaikan oleh orang lain, dengan cara yang relatif lebih mudah. Dan orang itu lah yang menikmati hasilnya.

Banyak orang yang gagal dalam hidupnya, karena ia berhenti mencoba justru di saat-saat menjelang ia berhasil. Bayangkan apabila Edison berhenti mencoba di langkah ke 9.000, Walt Disney berhenti di percobaan ke tiga ratus, atau kolonel Sanders berhenti di langkah ke seribu? Bisa jadi listrik ditemukan oleh orang lain. Kebesaran Disneyland atau KFC justru dicapai oleh orang selain Walt Disney dan Kolonel Sanders.

Tidak ada cara mudah. Suatu usaha atau keterampilan harus dicoba terus sampai tuntas untuk memperoleh hasil sesuai harapan. Berhenti di tengah jalan dan pindah ke jalur lain, hanya membuat kita capai berjalan tanpa bisa menikmati hasil.

Masih mau berpindah-pindah aktivitas sebelum mencapai hasil maksimal? 



(Zainal "Teroris" Abidin - Sudah dimuat di Harian Semarang, Rubrik Inspirasi, Sabtu, 13 November 2010)

"Omset saya paling sedikit 15 juta perbulan pak…!"

Itulah salah satu kalimat yang dijadikan Judul Tulisan ini… Cerita HENDRI Alumni Laskar Taruna Mandiri Angkatan Pertama, setelah pada Sabtu, 20 November 2010 saya coba mampir ke sudut bagian rumah mertuanya yang dijadikan Kios Service Handphone dan jualan aksesorisnya.

Pria putus sekolah yang hanya mempunyai ijazah SD Pasung 1, Wedi, Klaten, Jawa Tengah memulai usaha sebagai tukang kayu dan serabutan ini bangga dengan apa yang telah ia dapatkan melalui Pelatihan Reparasi Handphone yang diselenggarakan oleh Komunitas Tangan Di Atas(TDA) dan Institut Kemandirian di daerah Pademangan dimana dia dan keluarganya menetap saat ini.

Anak kesatu dari 5 bersaudara yang lahir tahun 1977 ini berujar awalnya tidak menyangka usaha jualan voucher yang dilakukan bersama Wagiati istrinya akan menjadikannya sumber kehidupan, Setelah Ilmu dan kemauan yang ia dapatkan dari pelatihan kini telah menjadikannya semakin optimis untuk dapat membesarkan anak-anaknya serta membahagiakan keluarganya dengan menerima Handphone rusak untuk diperbaiki dan menyediakan spare-part dan aksesorisnya.

Impiannya kelak dapat memperbaiki HP produk Cina dan Blackberry walaupun saat ini literatur komputer adalah target pertama yang ia harus pelajari, Semuanya itu belum dapat ia lakukan sendiri karna keterbatasan peralatan dan jam terbang, namun tidak menjadikannya putus asa apabila ada HP pelanggan yang bermasalah dengan software tentu masih dapat ia perbaiki dengan bantuan teman-teman alumni Institut Kemandirian dan Instruktur-instruktur yang pernah membimbingnya. “Saya langsung bawa saja ke Klinik Ponsel di Kampung Melayu atau di Kalibata dan disanakan ada Kak Triyono, Kak Trisno dan yang lainnya yang sangat baik membantu saya, yang penting kita berusaha dan tidak malas..!” demikian pemilik nama kios "APRIL CELL" ini berucap.

Hendri membingkai testimoni ini dengan syukur dan terima kasih yang tak terhingga kepada seluruh teman-teman yang ikut mengisi proses pembelajarannya dan berharap semoga teman-teman yang lain bisa maju bersama demi keluarga dan masyarakat Pademangan.

Alhamdulillah… Itulah Hendri, Teman kita… Murid kelas jauh Laskar Taruna Mandiri yang telah menemukan upaya kehidupan sebagai manusia yang tidak putus asa dan menjauhi kemiskinan. Jantungku berdebar-debar tak kuasa menahan haru… Selamat buat Hendri… Kami bangga…!

Dede Syaefudin for Laskar Taruna Mandiri - Depok, 21 November 2010.

Thursday, November 11, 2010

Sang Master

Di sebuah desa, ada seorang yang punya keahlian unik. Orang ini mampu memasukkan benang ke dalam lubang jarum dengan cara dilempar dari sebuah tempat yang berjarak sekitar duapuluh lima meter. Dengan cara yang berbeda-beda. Mulai dari posisi berdiri, berbalik, menyamping bahkan sambil tidur. Tingkat akurasinya mengagumkan.

Kabar itu, akhirnya sampai di telinga sang raja. Ia pun bertitah untuk memanggil orang unik ini. Sebut saja dengan sang master. Raja mengutus seorang punggawa istana untuk mengundang ahli pelempar benang ini untuk mendemonstrasikan keahliannya di istana raja.

Singkat cerita, sang master pun datang ke istana. Ia hadir di hadapan sang raja dan berkenan mempertunjukkan keahliannya.

Dan sang rajapun kembali bertitah. Ia memerintahkan beberapa prajurit untuk mengumumkan pertunjukan unik itu kepada seluruh rakyat di seluruh wilayah kerajaan.

Dan hari yang telah ditentukan pun tiba. Di sebuah lapangan yang luas, di hadapan ribuan pasang mata penonton ternasuk sang raja, sang master mempertunjukkan keahliannya memasukkan benang ke dalam jarum.

Seperti berita yang sudah beredar, ia mampu melakukannya dengan berbagai cara. Nyaris sempurna. Ia melakukannya dalam posisi berdiri, jongkok, membelakangi, menyamping bahkan tidur.

Tepuk tangan membahana setiap kali sang master selesai melaksanakan tugasnya. Dan di akhir pertunjukan, sang raja turun dari podium dan menyalami sang master. Ia memberi hadiah sebesar 5 keping uang emas untuk keahliannya.

Dan terjadilah hal yang tidak disangka-sangka. Sang raja memerintahkan sang master duduk di sebuah kursi, dan mengeluarkan cambuk.

'Mengapa aku dicambuk?' Kat sang master.

'Lima keping uang emas adalah hadiah atas keterampilanmu. Dan hukuman cambuk ini adalah upah karena bertahun-tahun engkau membuang waktu untuk melakukan sesuatu yang sia-sia.'

'Bertahun-tahun kau pelajari keterampilanmu. Dan bertahun-tahun pula kau kuasai keterampilan itu. Tapi dari dulu hingga kini, hidupmu tidak berubah. Kau jadi beban bagi orang lain. Kau pelajari ilmu yang tidak ada gunanya, bagimu dan juga bagi orang lain!'

Pertanyaannya buat kita semua : Sedang belajar apa kita sekarang, dan akankah ilmu itu akan aga gunanya bagi diri kita sendiri dan bagi orang lain?

(Zainal Abidin: Terima kasih buat pak Eri Sudewo, yang menceritakan kisah ini).

(Sudah dimuat di Harian Semarang, rubrik Inspirasi, hari Sabtu 16 Oktober 2010)

Wednesday, November 10, 2010

Septic Tanks Project

Setiap agama memiliki tradisi berbagi. Islam mengenal konsep zakat, infak dan sedekah. Nasrani ada konsep persepuluhan. di kalangan Hindu di Bali, bahkan nilainya sampai sepertiga dari pendapatan.

Hari-hari ini, banyak perusahaan maupun pribadi melakukan upaya pembagian dana zakat, infak dan sedekah. Dan secara umum, yang dilakukan nyaris sama. Bedanya hanya dalam cara mengorganisirnya.

Yang masih tradisional, biasanya sudah punya waktu tertentu dalam membagikannya. calon penerima tidak diseleksi. Tidak ada proses verifikasi. Siapa yang datang dan antri, sepanjang jatahnya masih ada, pasti kebagian. Inilah yang sering jadi senjata makan tuan. Jatah yang dibagikan lebih sedikit daripada jumlah calon penerima. Akibatnya, antrian yang semula rapi, jadi berantakan tidak terkendali. Dan terjadilah bencana. Yang fisiknya lemah, bisa terinjak, tergencet sampai luka-luka bahkan meninggal dunia.

Yang sudah well-organized, mengundang anak-anak yatim, para janda dan kaum dhuafa yang sudah terseleksi ke suatu tempat tertentu. Di sana, para mustahik diberi bingkisan berupa makanan, minuman dan atau pakaian. Juga ada amplop berisi sejumlah uang.

Mungkin tidak ada salahnya memberikan sedikit kebahagiaan kepada para mustahik di hari raya. Tapi sadarkah kita, bila apa yang dilakukan itu berpotensi melestarikan kemiskinan?

Hari itu, para dhuafa bergembira. Apalagi kalau dihibur dengan aneka atraksi sulap, gerak dan lagu dari para artis atau pun tausiyah dari para ustadz. Syiarnya semakin jauh jika panitia mengundang wartawan dari media cetak dan atau elektronik. Tapi apa yang akan terjadi di hari-hari berikutnya?

Mereka akan kembali ke kehidupan semula, kehidupan yang penuh dengan kekurangan. Tahun depan, mereka akan datang lagi. Menerima santunan kembali. Gebyar-gebyar kegembiraan tahun lalu, nyaris tidak bersisa selama setahun, sampai berulang kegembiraan di tahun berikutnya.

Inilah yang saya sebut Septic Tank Project. Hari ini kita bantu mereka. Tapi dana bantuan hanya habis untuk konsumsi. Tahun mereka datang kembali untuk menerima bantuan lagi. Bahkan bisa jadi, mereka membawa serta kawan-kawan lainnya. Ujung-ujungnya, jumlah penerima jadi membengkak. Dan pemberian bantuan hanyalah menjadi seremoni pelestarian kemiskinan. Belum lagi munculnya ekses lain seperti penyaluran dana yang tidak semestinya karena dana diterima oleh orang yang tidak berhak, munculnya korban jiwa akibat berdesakan, dan sebagainya.

Sebenarnya, ada dua hal yang biasa dilakukan dalam penyaluran dana ZIS, yaitu berbentuk charity (sumbangan), dan empowerment (pemberdayaan). Charity, mudah pelaksanaan dan pertanggung-jawabannya. Tapi, mudharatnya banyak. Jangan-jangan, kemiskinan enggan pergi dari bumi Indonesia, karena pola charity lebih banyak dilakukan.

Empowerment, lebih sulit pelaksanaan dan pertanggung-jawabannya. Sebagian dana diberikan dalam bentuk pelatihan, sebagian lagi dalam bentuk modal usaha. Kalau dilaksanaan secara taat azas, bisa jadi mustahik yang dibantu tahun ini, tahun depan sudah tidak lagi jadi mustahik. Bahkan bisa jadi muzakki. So, lewat pola yang mana ZIS anda disalurkan? 

Zainal Teroris Abidin, on Wednesday, October 13, 2010 at 11:51am

"GESTUN"

Seorang kawan datang ke saya untuk pinjam sejumlah uang, yang akan ia gunakan untuk membayar hutang ke bank, yang jumlahnya cukup besar. Usahanya gagal total dan meninggalkan sejumlah hutang. Di sisi lain, ia tidak punya sumber penghasilan lain. Saya tambah bingung, karena sepengetahuan saya, dia tidak punya asset sebesar hutangnya.

Akhirnya ia mengaku, ia bisa punya hutang sebesar itu pada 4 bank dengan memanfaatkan 4 kartu kredit dan memperkenalkan istilah GESTUN.

Gestun itu akronim dari Gesek Tunai. Kalau anda punya kartu kredit dari bank manapun, anda punya kesempatan untuk memanfaatkan kartu kredit itu sebagai sumber modal. Nyaris tanpa perlu prosedur yang berbelit.

Cukup datangi beberapa merchant tertentu, yang bersedia melakukan Gestun. Dalam transaksi ini, anda seolah-olah membeli suatu barang dengan menggunakan kartu kredit. Gesek kartu kreditnya, tanda tangani slipnya, dan anda akan terima uangnya. Ya. Anda akan terima sejumlah uang, yang jumlahnya sama dengan jumlah harga barang. Tentu saja sudah dipotong biaya administrasi.

Sejumlah dana hasil gestun itulah yang digunakannya untuk modal usaha, yang akhirnya berantakan. Dan sekarang ia sedang bingung, bagaimana membayarnya?

Bagi saya, itu adalah sebuah kesalahan fatal. Mengapa ?

1. Ini kesalahan utama. Dia menggunakan sumber dana kartu kredit, yang memberlakukan sistem bunga. Dan jika terjadi gagal bayar, jumlah yang harus dibayar terus bertambah seiring dengan berjalannya wakt.

2. Untuk mendapatkan sejumlah uang untuk modal usaha, ia harus berbohong. Transaksinya jual-beli barang, tetapi yang diterima bukan barang yang dibeli. Ia menerima uang tunai.

3. Ia berhutang, dengan harapan bisa membayarnya dari hasil usaha produktifnya. Padahal riset membuktikan, hampir tidak ada usaha yang dimodali dengan dana besar, bisa langsung untuk di bulan pertama.

Modal mungkin faktor utama bagi anda, kalau mau mulai usaha. Tapi jangan lakukan segalanya untuk mendapatkan modal. Sedapat mungkin, jangan mulai usaha dari dana yang diperoleh dari berhutang. Apalagi harus berbohong pula! 

(Zainall Teroris Abidin, Sunday, November 7, 2010 at 8:39am)

Friday, November 5, 2010

Dinar Sebagai Yardstick Kemakmuran dan Perencanaan Keuangan...

Ada seorang teman yang saya kenal baik sejak tahun 1990-an hingga kini, karena kedekatan tersebut dia cukup leluasa mengungkapkan segala problem financial-nya ke saya. Pada tahun 1995 dia diangkat menjadi manager di perusahaan asing dengan penghasilan sekitar Rp 10 juta per bulan; kini dia direktur di salah satu group perusahaan besar dengan gaji Rp 100 juta-an per bulan !. Yang jadi pertanyaan dia ke saya adalah mengapa dengan gaji 10 kali lipat dibandingkan dengan gaji dia tahun 1995, dia tidak merasakan adanya peningkatan kemakmuran selama 15 tahun ini ?.
Disinilah problem yang terjadi dengan uang kertas, karena nilainya yang terus bergerak turun – angka di penghasilan kita bisa saja terus meningkat tetapi tidak berarti daya beli riil kita juga meningkat. Untuk bisa melihat daya beli riil kita, kita harus menggunakan timbangan yang juga benda riil – salah satunya adalah Dinar. Untuk melihat situasi financial teman saya tersebut diatas misalnya, kita dengan mudah dapat gunakan tabel dibawah.

Estimasi Harga Dinar 1970-2010

Estimasi Harga Dinar 1970-2010

Penghasilan dia tahun 1995 yang Rp 10 juta saat itu kurang lebih setara dengan 82.29 Dinar. Dengan harga Dinar pagi ini dikisaran Rp 1,670,000,-/Dinar , penghasilan dia yang Rp 100 juta hanya setara dengan 59.88 Dinar !. Jadi setelah bekerja 15 tahun lebih dengan penghasilan dalam Rupiah yang sudah meningkat 10 kali lipat, tentu saja sang direktur tidak merasakan peningkatan kemakmuran karena daya beli riil dia selama ini bukannya naik tetapi malah turun.

Mengapa harga Dinar ini lebih akurat untuk mengukur daya beli riil kita ketimbang data inflasi di negara maju sekalipun ?; adalah sejarah ribuan tahun yang membuktikan hal ini. 1 Dinar di jaman Rasulullah SAW dapat untuk membeli 1 ekor kambing kurban yang baik, kini dengan 1 Dinar yang sama Anda tetap dapat memilih kambing kelas A untuk ber-kurban. Bila Dinar stabil daya belinya terhadap kambing, tentu dia juga memiliki daya beli stabil untuk kebutuhan kita lainnya.

Dengan menggunakan tabel yang sama, Anda juga dapat mengukur kinerja financial Anda dalam perjalanan karir Anda selama ini – jangan-jangan tanpa Anda sadari - Anda juga menjadi korban penurunan daya beli seperti teman saya tersebut. Lantas apa manfaatnya mengetahui kondisi riil kita ini ?. Bila kita berhasil mengidentifikasi masalahnya, maka ada kemungkinan kita bisa memperbaiki situasinya. Sebaliknya bila kita tidak tahu masalahnya, tentu akan sulit untuk mencari pemecahannya.

Untuk kasus teman saya tersebut misalnya; dengan penghasilannya sebagai direktur yang sekarang mendekati 60 Dinar per bulan – memang lebih rendah dari penghasilan dia sebagai manager tahun 1995 yang diatas 80 Dinar per bulan; tetapi sesungguhnya dia masih mampu menyisihkan sebagian penghasilannya untuk diinvestasikan di sektor riil.

Apa dampaknya bila dia tidak melakukan action ini sekarang ?, penghasilan dia akan semakin menurun kedepan (dalam Dinar) padahal dia semakin dekat ke usia pensiun yang kurang dari 10 tahun mendatang. Bila ini terjadi, maka dari sisi financial dia tidak akan lebih baik dari posisi financial dia di masa mudanya. Inilah mayoritas yang dialami oleh pegawai di sektor apapun pada tingkat apapun – bila dia tidak mulai mengambil aksi investasi pada bentuk-bentuk investasi yang bisa mengalahkan penurunan daya beli mata uang kertas.

Bentuk investasi sektor riil yang sederhana tetapi akan mampu mengalahkan penurunan daya beli mata uang salah satunya adalah perdagangan.

Bila Anda berdagang beras misalnya. Anda mengambil dari Cianjur dan menjualnya di Jakarta dengan keuntungan bersih 10 %, maka keuntungan Anda yang 10 % dari harga beras ini akan mampu melawan inflasi atau penurunan daya beli mata uang karena ketika inflasi itu terjadi harga beras otomatis naik dan penghasilan Anda juga otomatis naik – seiring kenaikan harga beras.

Bila sekarang Anda mulai menjual 1 ton beras per bulan, 10 tahun lagi mampu menjual 10 ton beras per bulan, maka kenaikan penghasilan Anda akan merupakan kenaikan penghasilan yang riil karena dikaitkan langsung dengan daya beli terhadap beras – bukan kenaikan semu hanya dalam angka seperti dalam contoh kasus teman saya tersebut diatas.

Jadi mengenal yardstick atau tolok ukur yang benar, bisa menjadi awal Anda untuk membuat perencanaan keuangan masa depan yang lebih akurat dan memakmurkan. InsyaAllah.

Muhaimin Iqbal, On Monday, November 1, 2010.