Sampai tengah hari, batu cadas itu tidak kunjung pecah. Pekerja itu akhirnya memutuskan untuk meninggalkannya, dan mencoba memecahkan batu lainnya.
Usai makan siang, pekerja itu mulai memukuli batu cadas yang lain. Hingga sore hari, batu cadas itu pun tidak kunjung pecah. Batu itupun ditinggalkan, dan untuk keesokan harinya, ia sudah siapkan batu lain untuk dipecahkan.
Keesokan paginya, ketika pekerja yang sama sedang memukuli batu yang ketiga, seorang anak kecil membawa sebuah palu kecil dan memukulkannya ke batu cadas yang pertama. Dan hanya dengan dua pukulan yang tidak terlalu keras, batu cadas pun pecah.
Apa yang saya gambarkan melalui cerita di atas, adalah metafora orang-orang yang melakukan banyak hal, tetapi tidak dituntaskan. Misalnya mereka memulai usaha, tetapi belum sampai menghasilkan, mereka sudah beralih pada usaha lainnya. Mereka mencoba suatu keterampilan tertentu, tetapi belum sampai khatam, sudah belajar keterampilan lainnya. Ujung-ujungnya, mereka hanya berpindah-pindah aktivitas tanpa hasil yang berarti.
Lebih sial lagi, pekerjaan mereka diselesaikan oleh orang lain, dengan cara yang relatif lebih mudah. Dan orang itu lah yang menikmati hasilnya.
Banyak orang yang gagal dalam hidupnya, karena ia berhenti mencoba justru di saat-saat menjelang ia berhasil. Bayangkan apabila Edison berhenti mencoba di langkah ke 9.000, Walt Disney berhenti di percobaan ke tiga ratus, atau kolonel Sanders berhenti di langkah ke seribu? Bisa jadi listrik ditemukan oleh orang lain. Kebesaran Disneyland atau KFC justru dicapai oleh orang selain Walt Disney dan Kolonel Sanders.
Tidak ada cara mudah. Suatu usaha atau keterampilan harus dicoba terus sampai tuntas untuk memperoleh hasil sesuai harapan. Berhenti di tengah jalan dan pindah ke jalur lain, hanya membuat kita capai berjalan tanpa bisa menikmati hasil.
Masih mau berpindah-pindah aktivitas sebelum mencapai hasil maksimal?
(Zainal "Teroris" Abidin - Sudah dimuat di Harian Semarang, Rubrik Inspirasi, Sabtu, 13 November 2010)