Sunday, July 29, 2018

ABDUR-RAHMAN BIN MULJAM, POTRET BURAM SEORANG KORBAN PEMIKIRAN KHAWARIJ


Kebenaran Pemahaman dan Itikad Yang Baik merupakan tonggak penting dalam mengaplikasikan ajaran Islam secara benar. Dua perkara ini harus seiring-sejalan. Ketika salah satunya tidak terpenuhi, maka tabiat orang-orang Yahudi yang tidak mempunya itikad baik di hadapan hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala dan penganut Nashara yang berjalan tanpa petunjuk ilmu akan berkembang di tengah umat. Akibatnya timbullah kerusakan…

Contoh perihal bahaya dari pemahaman yang benar, tapi tidak punya Itikad yang baik adalah Barbaria, Barbaria adalah sosok Ulama bani Israil yang paham agama tapi tidak mempunyai Itikad yang baik, dia mengkomersilkan agama dan fatwanya, sebagaimana disebutkan Rasulullah dalam sunnah Imam Ahmad.

Contoh perihal bahaya dari pemahaman yang tidak lurus ini, dapat dilihat pada diri Abdur-Rahman bin Muljam. Sosok ini telah teracuni pemikiran Khawarij. Yaitu satu golongan yang kali pertama keluar dari jamaatul-muslimîn. Sejarah mencatat kejahatan kaum Khawaarij ini telah melakukan pembunuhan terhadap Amirul-Muminin Ali bin Abi Thalib, yang juga kemenakan Rasulullah Saw.

SIAPAKAH ABDUR-RAHMAN BIN MULJAM?
Merupakan kekeliruan jika ada yang menganggap Abdur-Rahman bin Muljam dahulu seorang yang jahat. Sebelumnya, Abdur-Rahman bin Muljam ini dikenal sebagai ahli ibadah, gemar berpuasa saat siang hari dan menjalankan shalat malam. Namun, pemahamannya tentang agama kurang menguasai.
Meski demikian, ia mendapat gelar al-Muqri`. Dia mengajarkan Al-Quran kepada orang lain. Tentang kemampuannya ini, Khalifah Umar bin al Khaththab sendiri mengakuinya. Dia pun pernah dikirim Khaliifah Umar ke Mesir untuk memberi pengajaran Al-Quran di sana, untuk memenuhi permintaan Gubernur Mesir, Amr bin al-Aash, karena mereka sedang membutuhkan seorang qari.
Dalam surat balasannya, Umar menulis: “Aku telah mengirim kepadamu seorang yang shalih, Abdur-Rahman bin Muljam. Aku merelakan ia bagimu. Jika telah sampai, muliakanlah ia, dan buatkan sebuah rumah untuknya sebagai tempat mengajarkan Al-Quran kepada masyarakat”.
Sekian lama ia menjalankan tugasnya sebagai muqri`, sampai akhirnya benih-benih pemikiran Khawarij mulai berkembang di Mesir, dan berhasil menyentuh athifah (perasaan)nya, hingga kemudian memperdayainya.[1]

MERENCANAKAN PEMBUNUHAN TERHADAP ALI BIN ABI THÂLIB [2]
Inilah salah satu keanehan Abdur-Rahman yang sudah terjangkiti pemikiran Khawarij. Tiga orang penganut paham Khawarij – Abdur-Rahman bin Muljam al-Himyari, al-Burak bin Abdillah at-Tamimi dan Amr bin Bakr at-Tamimi – mereka berkumpul bersama, sambil mengingat-ingat tentang Ali Radhiyallahu ‘anhu yang telah menghabisi kawan-kawan mereka di perang Nahrawan. Mereka pun berdoa memohon rahmat kebaikan bagi orang-orang yang telah menemui ajalnya itu.

Peristiwa peperangan Nahrawan sangat membekaskan luka mendalam pada hati mereka. Salah seorang dari mereka berkata: “Apa lagi yang akan kita perbuat setelah kepergian mereka? Mereka tidak takut terhadap apapun di jalan Allah Swt. Sebaiknya kita mengorbankan jiwa dan mendatangi orang-orang yang sesat itu [3]. Kita bunuh mereka, sehingga negeri ini terbebas dari mereka, dan kita pun telah melunasi balas dendam?”
Akhirnya, mereka merencanakan balas dendam dengan merancang pembunuhan terhadap tiga orang yang mereka anggap bertanggung jawab atas peristiwa tersebut. Pembunuhan ini mereka anggap sebagai tangga untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka sepakat melakukan pembunuhan terhadap tiga orang itu, yaitu Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyyah dan Amr bin al Ash Radhiyallahu ‘anhum, dan mereka berani mempertaruhkan nyawa untuk mewujudkan rencana keji itu.
Rencana Abdur-RahmAn bin Muljam untuk membunuh Ali Radhiyallahu ‘anhu kian menguat setelah didorong oleh seorang perempuan.
Dikisahkan, adalah Fitham nama wanita itu. Kecantikannya yang masyhur di tengah kaum muslimin telah berhasil merebut hati Abdur-Rahman bin Muljam. Hingga ia melupakan misi jahatnya di Kufah, yaitu membunuh Amirul-Mu`minin Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu. Namun tak terduga, hasratnya memperistri wanita yang terkenal cantik itu, justru memicu niatnya yang sempat terlupakan.

Pasalnya, selain permintaan mas kawin yang berupa kekayaan duniawi, wanita ini juga memasukkan pembunuhan terhadap Ali Radhiyallahu ‘anhu sebagai syarat, jika Ibnu Muljam ingin memperistrinya. Syarat pinangan yang aneh ini yang kemudian mengingatkan Ibnu Muljam dengan niat jahat itu, dan ia bertambah semangatnya untuk segera mewujudkan niat buruknya. Katanya, ”Ya, ia adalah bagianku. Demi Allah, tidaklah aku datang ke tempat ini kecuali dengan niat untuk membunuh ‘Ali”. Syarat ini terpenuhi dan pernikahan pun dilaksanakan. Semenjak itu, sang wanita ini selalu membakar semangat suaminya untuk merealisasikan niatnya. Bahkan ia memberi bantuan kepada Ibnu Muljam seorang lelaki yang bernama Wardan untuk mewujudkan rencana jahat itu.
Setelah itu, Ibnu Muljam pun mengajak seseorang yang Syabiib bin Najdah al Asyja’i. Katanya,”Maukah engkau memperoleh kemuliaan dunia dan akhirat?”
Tetapi, begitu mendengar yang dimaksud ialah membunuh Ali Radhiyallahu ‘anhu, maka Syabib menampiknya. Karena ia mengetahui, Ali Radhiyallahu ‘anhu memiliki jasa yang sangat besar bagi Islam dan kaum muslimin, dan ia memiliki kedekatan dalam hal kekerabatan dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Melihat penolakan ini, Ibnu Muljam tak kalah cerdik. Dengan agresifitasnya, ia membakar emosi Syabib dengan menyebut kematian orang-orang Khawarij di tangan Ali. Yang akhirnya, ia berhasil menjinakkan hati Syabib. Padahal Khalifah Ali bin Thalib - pada masa itu - ialah orang yang paling tekun beribadah kepada Allah Azza wa Jalla, paling zuhud terhadap dunia, paling berilmu dan paling bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla.
Mereka bertiga kemudian bergerak melancarkan niatnya pada malam 17 Ramadhan 41 H. Hari yang sudah diputuskan oleh Ibnu Muljam, al-Burk dan Amr bin Bakr untuk menyudahi nyawa tiga orang sahabat Rasulullah, yaitu Ali, Mu’awiyyah, dan Amr bin al-Ash Radhiyallahu ‘anhum.

Begitu waktu subuh tiba, sebagaimana biasa Amirul-Mu`minin Ali bin Thalib keluar dari rumahnya untuk melakukan shalat Subuh dan membangunkan manusia. Saat itulah pedang Khawarij yang beracun menciderai Ali Radhiyallahu ‘anhu. Ketika Ibnu Muljam menyabetkan pedangnya pada bagian pelipis Ali Radhiyallahu ‘anhu, ia berseru: “Tidak ada hukum kecuali hukum Allah, bukan milikmu atau orang-orangmu (wahai Ali),” lantas ia membaca ayat :
“Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya”. [al Baqarah/2:207].[4]
Mendapat serangan ini, Amirul-Mu`minin berteriak meminta tolong. Dan akhirnya Ibnu Muljam berhasil ditangkap hidup-hidup. Adapun Wardan, ia langsung terbunuh. Sedangkan Syabîb berhasil meloloskan diri.

AKHIR KEHIDUPAN ABDUR-RAHMAAN BIN MULJAM
Ketika Amirul-Mu`minin Ali bin Thalib Radhiyallahu ‘anhu dipastikan meninggal karena serangan Ibnu Muljam, maka diputuskanlah hukuman mati bagi Ibnu Muljam. Hukuman ini diawali dengan memotong kedua kaki dan tangannya dan menusuk dua matanya, kemudian dilanjutkan dengan membakar jasadnya.
Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata tentang Ibnu Muljam: “Sebelumnya, ia adalah seorang ahli ibadah, taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Akan tetapi, akhir kehidupannya ditutup dengan kejelekan (su`ul khatimah). Dia membunuh Amirul-Mu’minin Ali Radhiyallahu ‘anhu dengan alasan mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui tetesan darahnya. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi ampunan dan keselamatan bagi kita”.[5]

Berbeda dengan anggapan kalangan Khawarij. Di tengah mereka, Abdur-Rahman bin Muljam ini dielu-elukan bak pahlawan. Dia mendapatkan pujian dan sanjungan. Di antaranya keluar dari Imran bin Haththan. Orang ini, sebelumnya dikenal sebagai ahli ilmu dan ahli ibadah. Namun, perkawinannya dengan seorang wanita yang memiliki pemikiran Khawarij, menjadikannya berubah secara drastis. Dia mengikuti pemahaman istrinya. Dia merangkai bait-bait syair sebagai pujian yang ditujukan kepada Abdur-Rahman bin Muljam:

Oh, sebuah sabetan dari orang bertakwa, tiada yang ia inginkan…
selain untuk menggapai keridhaan di sisi Dzat Pemilik ‘Arsyi…
Suatu waktu akan kusebut namanya, dan aku meyakininya…
(sebagai) insan yang penuh timbangan (kebaikannya) di sisi Allah…[6]

Pujian ini tentu merupakan perbuatan ghuluw (berlebih-lebihan), sehingga dapat menyeret seseorang menjadi keliru dalam memandang kebatilan hingga terlihat sebagai kebenaran di matanya. Na’udzu billahi min dzalik. Golongan lain yang juga memberi sanjungan kepada pembunuh Ali Radhiyallahu ‘anhu, yaitu golongan Nushairiyyah. Konon katanya, karena Ibnu Muljam telah melepaskan “ruh ilâhi” dari tanah.[7]

BEBERAPA PELAJARAN DARI KISAH DI ATAS
1. Pemahaman yang benar dalam mengaplikasikan Islam merupakan keharusan bagi seorang muslim. Dalam hal ini, para sahabat merupakan generasi Islam pertama, yang pastinya paling memahami Islam. Mereka mereguknya langsung dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ketika muncul pergolakan yang disulut kaum Khawarij, tidak ada satu pun dari sahabat yang merapat ke barisan mereka. Pemahaman-pemahaman terhadap Islam yang tidak mengacu kepada para sahabat - sebagai generasi pertama umat Islam - hanya akan berakhir dengan kekelaman. Motif mereka sesat, karena beranggapan pembunuhan ini sebagai ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Alasan demikian tentu menjatuhkan citra Islam, dan menjadi ternoda karenanya. Hal ini bisa menimpa siapa pun yang berbuat tanpa dasar ilmu, tanpa pemahaman yang lurus, dan hanya mengandalkan perasaan atau hawa nafsu semata.

2. Kebodohan itu berbahaya, lantaran menyebabkan ketidakjelasan barometer syar’i bagi seseorang, sehingga membuat kelemahan dalam tashawwur (pendeskripsian) dalam memandang suatu masalah.[8]

3. Bahaya teman dekat (istri, suami) yang berpemikiran buruk atau menyimpang. Wallahu a’lam

[Intisari Ceramah Tarawih 7 Ramadhan 1439H, Ustadz Mujahid Nur Islami LC. di Mesjid Darussalam, Griya Tugu Asri, Depok]


Footnote:
[1]. Nukilan dari Al Ghuluww, Mazhâhiruhu, Asbâbuhu, ‘Ilâjuhu, Muhammad bin Nâshir al ‘Uraini, Pengantar: Syaikh Shâlih al Fauzân, Tanpa Penerbit, Cetakan I, Tahun 1426 H.
[2]. Lihat al-Bidayah wan-Nihâyah, Imam Ibnu Katsîr rahimahullah, Maktabah ash-Shafâ, Cetakan I, Tahun 1423H-2003 M (7/266-268)
[3]. Maksudnya ialah ‘Ali bin Abi Thâlib, Mu’awiyyah dan ‘Amr bin al-‘Âsh Radhiyallahu ‘anhum.
[4]. Ibnu Muljam mengira dirinya masuk dalam konteks ayat yang ia baca itu, Pen.).
[5]. Mizânul-I’tidâl, Abu ‘Abdillah Muhammad adz-Dzahabi, Darul-Ma’rifah, Beirut, tanpa tahun, 2/592.
[6]. Al-Farqu bainal-Firaq, ‘Abdul-Qâhir al-Baghdâdi, Darul-Kutub al-‘Ilmiyyah, tanpa tahun, hlm. 62-63.
[7]. Al-Mausû’atul-Muyassaratu fil Ad-yâni wal-Mazhâhibi wal-Ahzâbil-Mu’âshirah, Cetakan V, Tahun 1424 H / 2003 M, 1/392.
[8]. Asbâbu Ziyâdatil-‘Imân wa Nuqshânihi, Prof Dr. ‘Abdur-Razzâq al-‘Abbâd, Ghirâs, Cetakan III, Tahun 2003M, hlm. 62.