Pada penghujung hari perayaan di
venue #Milad6 #SedekahRombongan di Desa Wisata Tembi, PARJIYO adalah
nama Homestayku yang di depannya ada MIE JAWA BU ETI yang juga pemilik rumah
sederhana itu sesuai plang inisisasi merk dagangnya. Posisinya agak lumayan
jauh dari inner-spot dan mesjid besar tempat peserta milad yang beragama islam diarahkan sholat
berjamaah. Rumah sederhana dengan induk semang yang ramah someah loh jinawi
sangat klop terlihat paduan pemilik dan yang dimilikinya, kamar yang agak kurang nyaman bagiku tapi tak dirasa karna sukacita milad dan suasana desa yang begitu
eksotik membuatku sangat menikmatinya.
Pagi itu acara berbagai
perlombaan dikemas varian oleh kekompakan panitia dalam suasana dirty outdoor, yang aku
sendiri tidak ikut meramaikan dikarnakan beberapa Koordinator Kota berkunjung
ke kamarku, minta bertemu sang Kopral yang sedang ngantuk karna semalam hanya
tidur 2 jam, mulai dari Tuban Lamongan Bojonegoro, Sorong Papua, Solo dan juga seorang
Fajar Arini selevel HRD Managernya SR Pusat khusus minta aku membuatkan draft
pidato menyambut Gusti Candra Kirana - puteri ketiga Ngarso Dalem Sri Sultan
Hamgkubuwono X pada agenda terakhir sebagai penutup milad jam 11.00 nanti.
Selusin kepala memadati space
kamar, kota perkota secara unofficial mendiskusikan update gerakan SR
kebanggaan kota mereka, sampai giliran mbak Arini di-skip sementara karna harus
mendahulukan diskusi 8 kurir Sorong Papua yang akan pulang siang itu. Koordinator
Wilayah Brata Manggala, Korkot Sorong Hamdani Tukloy, Faisal, Nani, Pasinem, Ibu
Suhaemi, Mama Tenci dan lainnya memulai diskusi panas dengan gaya intonasi
mirip orang baku hantam yang pastinya membuat perhatian orang di luar kamar.
Satu pihak tidak puas dengan
kerja Koordinator Sorong saat ini, sepihak lain dituduh tidak transparan, lainya
beranggapan ada yang mengkotak-kotakkan kumpulan kurir Sorong agar tidak
bersatu. Ampuuun Gusti Allah… Dalam hatiku mereka telah merusak suasana milad
sendiri, mereka lupa bahwa koordinasi adalah harga mati dalam organisasi, mereka
lupa kalo sedang beribadah jamaah, mereka lupa kalo jabatan seorang Koordinator di
SR itu bisa jauh dari surga dan mereka lupa makna Mencari Muka di depan Tuhan.
Hingar bingar kegalauan pendapat itu
berhenti akhirnya pada resonansi terakhir, seakan terpuaskan hasrat yang selama
ini dipendam di jiwa mereka masing-masing setelah semuanya mengungkap. Tiba
giliran Mama Tenci, seorang Ibu yang memulai tua itu minta diberikan kesempatan
bicara, dengan logat kental bumi cendrawasih, iapun berujar:
“Saya orangtua disini di group
Sorong, coba kalian dengarkan seperti yang saya harapkan. Misi kita di SR
adalah mencari muka di depan Tuhan, apa kalian lupa?. Kenapa kita bisa kembali
lagi ke Milad 6 karna kita cinta SR, saya seperti kang Eded suka organisasi sosial
dan sejak muda umur 14 tahun saya sudah masuk Karang Taruna, sampai tua saya
ikut PKK dan lainnya. Kang Eded bilang dari seumur hidupnya SR adalah organisasi
yang sangat berkesan dalam hidupnya!”
“Saya masih teringat kata-kata
Kang Eded pada #Milad5SR, lupakan ego jika kita berhadapan dengan kebaikan.
Katanya kita orang sedang cari muka di depan Tuhan? Yang benar saja kalian pikir?.
Maaf Kang Eded saya jadi harus sampaikan bahwa, suami saya sempat protes, Mama
kenapa kau seperti tergila-gila dengan SR? nanti lama-lama kau bisa masuk Islam.
Spontan saya jawab, Papa itu tidak mungkin… karna SR hadir dengan beberapa
agama untuk membantu orang miskin, dan perlu papa tahu di Sorong sini yang
banyak sekali dibantu SR adalah jemaat Nasrani saudara kita, Maka itu saya
sangat cinta SR karna kita diberikan jalan oleh Tuhan mengurus orang yang sedang
sakit“ tutup Mama Tenci diiringi tangisan dan derai air mata seorang ibu yang
prihatin melihat anak-anaknya yang sok pintar dan egois semua.
Arini ikut menangis dan seluruh
isi kamar ikut menangis, tak terkecuali aku yang berusaha menahan kelopak mata
yang sudah mulai menggenang ini. Aku malu merasa tak lebih baik dari Mama
Tenci, tapi ia selalu mengingat dan menyebut katanya aku, padahal aku yang sangat kagum
pada Mama Tenci. Astaghfirullah…
Tiba giliran Sang Kopral yang Sompral
ini bicara, yang sok ngatur selama ini dan sok cool n' wise… “Mamaku Tenci, Ibu
Suhaemi, Saudaraku, adik-adikku dari Papua…! Dari awal kabar kedatangan kalian
di Kota Jogja Istimewa ini, saya sudah tidak dapat berbicara banyak dengan
kalian karna kagum dengan kalian semua. Biaya transportasi milad kalian yang
perorang 6juta dikumpulkan selama 6 bulan berdagang makanan di Car Free Day
Kota Sorong saja sudah membuat saya speechless, tak ada yang lebih baik
pengorbanannya dari kalian sebagai kurir di SR. Di sisi lain banyak kurir yang
mampu namun minta digratiskan transportasi dan biaya miladnya karna menuntut ganti
perasaan mereka yang selama ini berkorban untuk SR tidak digaji…!” Dadaku
semakin bergetar tak mampu untuk berbohong…
Dalam pepatah minang, “Bersilang
Kayu di dalam Tungku di sana Api Menyala”. Semangat kita sedang membara untuk SR
walau diiringi debat pendapat, namun jangan hilangkan nafas Ilahi sebagai tujuan
utama kita agar berujung pada kemaslahatan. Sangatlah tidak ikhlas ketika kita
menyayangi para dhuafa namun sesama kurir tidak saling peduli memperbaiki
dengan kasih sayang, sesuai esensi Tuhan kepada manusia yang tak pernah
berhenti mengasihi dan menyayangi”.
Diskusi panas itu akhirnya untung
berujung seiring siang membentang di langit Jogjakarta, biarlah Allah saja yang
memberikan rating pujian-Nya sebagai program yang ikhlas untuk-Nya dan populer di
langit sana dengan tujuan kepedulian kita melalui SR. Kita semua tersadar dan menyesal, saling bermaafan bersalaman dan berpelukan, pikirku mereka
adalah saudara kita yang sangat ditunggu kaum miskin di kotanya. Kita patut peduli
dan berbagi dengan mereka walau dengan sedikit ilmu, agar semua mampu berdiri
dengan kepercayaan diri.
Bayanganku menerawang jauh lebih setahun lalu pernah berkunjung ke Sorong, disana kutemui para dhuafa penderita 3 penyakit pembunuh: Malaria, TBC dan HIV. Aku tak cukup dengan merasa khawatir saja tanpa menjadi sumber kehangatan bagi mereka dalam merahmati semesta alam, sebab hamparan rumput hijau segar sekalipun, kalau tak disinari matahari akan berubah menjadi tanah yang gundul…
Bayanganku menerawang jauh lebih setahun lalu pernah berkunjung ke Sorong, disana kutemui para dhuafa penderita 3 penyakit pembunuh: Malaria, TBC dan HIV. Aku tak cukup dengan merasa khawatir saja tanpa menjadi sumber kehangatan bagi mereka dalam merahmati semesta alam, sebab hamparan rumput hijau segar sekalipun, kalau tak disinari matahari akan berubah menjadi tanah yang gundul…
Salam #TembusLangit untuk Kurir Sorong dan Papua
@Kang Eded